“Maaf aja, aku mah lebih baik pahit di depan, manisnya belakangan. Dari pada sebaliknya.”
“Iya. Aku juga gitu, kok. Enggak butuh yang terlalu manis di depan. Giung, kalau kata orang Sunda mah.”
“Emang kamu mau, susah dan pahit kaya begini?”
“Mau. Kamu mau, ditemenin susah dan pahitnya bareng aku?”
“Mau.”
Saya jadi terbayang akan rasa kopi yang kamu senangi–yang sampai saat ini, belum bisa saya racik secara pas, secara tepat. Dua sendok kopi. Satu sendok gula. Airnya, sedikit saja. Panas semua. Diracik dalam sebuah cangkir kecil. Mungil. Katamu, biar kentalnya, rasa kopinya, rasa pahitnya, lebih terasa lekat di lidah.
Ya, mungkin itulah nikmatnya menyesap secangkir kopi. Dan mungkin, bagimu, ditambah lagi dengan kenangan. Pahit di awal, namun terasa nagih setelah menjelajahi titik-titik lidah perasamu.
Pun, hal itu lah yang membuat saya membuka kembali buku memori, mengingat bahwa kamu pernah berkata sama seperti rasa pahitnya kopi: pahit di awal, lalu berbuah manis. Berbuah euforia.
Memang, kita–saya dan kamu–sama seperti rasa kopi favoritmu: memulai semuanya dengan perasaan yang pahit. Kamu, yang merasa pahit akan keadaan saat itu; dan saya, yang merasa pahit dengan kemungkinan A, kemungkinan B, kemungkinan C, yang akan datang di kemudian harinya. Kamu, yang ditinggalkan; dan saya, yang takut ditinggalkan. Dan, akhirnya, kamu, yang mengikhlaskan; dan saya, yang belajar merelakan.
Tak jarang, saat itu, kamu berkali-kali ingin pergi; dan saya, berulang kali ingin menyerah. Kamu, yang pernah menyuarakan sentak; dan saya yang terdiam, dan membuat kawanan saya–gerombolan air mata–keluar serentak. Tapi, selalu, semua itu berakhir dengan satu kata:maaf.
Mendadak, saya teringat akan pernyataan dari salah seorang teman: Mungkin, kita itu sudah dikasih banyak jodoh sama Tuhan. Cuma, manakah yang benar-benar “the one”-nya kita, adalah yang sama-sama mau berusaha. Sama-sama mau menerima.
Ya. Dari semua pahit itu, kamu yang selalu tak mau beranjak. Kamu yang enggan menyerah. Kamu yang selalu mau menerima. Pun, kamu yang membuat saya percaya, bahwa kamu, bahwa saya, bisa melewati setiap jengkal rasa pahit itu, bersama.
Dan, karena itu pula, saya masih ingin memelukmu seperti ini sampai 50 tahun lagi. Dan 50 tahun setelahnya lagi.
Kamu mau, kan?
***
“Udah, kamu mah di Bekasi aja, enggak usah ikut susah sama aku. Aku di sini aja dulu sampai bisa ngebahagiain kamu.”
“Enggak mau.”
“Kenapa? Kan kalau di sini kamu jadi ikut susah?”
“Kan, seperti kata kamu, pahit di awal, jadi nanti, manisnya lebih terasa. Dan aku enggak mau ninggalin kamu karena rasa pahit itu. Karena nanti, aku enggak mau melewatkan rasa manis yang mungkin enggak akan dirasain sama orang lain,”
“Sungguh?”
“Sungguh!”
“…”
“…”